Tanggal 30 Januari 2017, jam
19.35 WIB pesawat KLM KL0810, membawa saya terbang bersama 5 orang lain menuju
Amsterdam. Kami transist sejenak di Kuala Lumpur. Empat puluh menit kemudian,
pesawat yang saya tumpangi kembali melanjutkan rutenya, melayang di udara
selama kurang lebih 13 jam menuju Schipol di Amsterdam. Dua jam
kemudian KL1821 membawa saya menuju TXL (Tegel) di Berlin. Penerbangan ini
lumayan pendek, dibandingkan sebelumya, hanya 1 jam 15 menit. Setelah kurang
lebih 15 jam akhirnya saya tiba di Belin, dan mulailah trip pertama kali saya
di Eropa. Begitu turun dari pesawat, saya
merasakan suhu 0 derajat dan sisa-sisa salju yang menyapa. Yessss!!! Bucket
list hidup saya terpenuhi, melihat dan menyentuh salju untuk pertama
kali. Dasar orang tropis! Segera saya
tebalkan jaket untuk melawan rasa dingin yang meringsek ke dalam tulang.
Setelah 1x Shuttle bis, 1x
kereta, dan berjalan 15 menit, sampailah kami di Monbijou Hotel, tempat yang
akan kami gunakan rehat selama di Berlin. Kami langsung menuju kamar setelah
sebelumnya bersepakat untuk bertemu
kembali di lobby hotel guna membahas rencana selama di Berlin. Tiga puluh menit
pertemuan dan beberapa rencana sudah disusun untuk mengisi hari pertama
kedatangan kami di Berlin. Dengan mengesampingkan lelah dan jetlag, kami segera
bergegas menuju Bethanien. Bethanien adalah bangunan tua bekas
rumah sakit, dan saat ini dijadikan salah satu tempat pelaksanaan Transmediale 2017.
Setelah melakukan registrasi tamu Transmediale, bergegaslah saya menjalajahi
Bethanien. Hari itu,di Bethanien, juga sedang berlangsung pameran yang menjadi
bagian dari Transmediale 2017. Pameran yang menarik. Dalam pameran tersebut disuguhkan
perkembangan sound art dari Mexico dari abad 19 hingga 21.
Melihat semua informasi dari
pameran tersebut, Mexico memiliki begitu banyak
kesejarahan dalam sound art. Beberapa
display informasinyanya jauh di depan ekspektasi saya, menilik dari kondisi
sosiogeografis dan kultural yang hampir mirip dengan Indonesia, yang sama-sama
adalah dunia ke-3. Perkembangan ini menyorot dari
era awal sound art di Mexico yang
menyajikan informasi karya-karya sound art yang berbasis teknologi analog hingga
penggunaan teknologi digital. Dari tradisional hingga hibrid, dari yang
kontemporer hingga experimentatif sampai yang konseptual. Rasa lelah ya ng
masih menempel kuat di tubuh saya begitu saja hilang, menikmati informasi yang di hadirkan dalam pameran
tersebut. Kurang lebih beberapa jam kemudian kami menyudahi kunjungan kami ke
Bethanien dan bersama menikmati makan malam, sebelum menuju ke Berghain.
Berghain !!!! ya Berghain, sebuah
tempat prestisius dalam skena elektronik dan experimental di Eropa. Tak bisa di
pungkiri siapa pun musisi yang pernah mempresentasikan karya nya disana jelas
bukan kacangan. Setahu saya hanya SENYAWA wakil dari Indonesia yang pernah
menguasai tempat tersebut. Jam 10 malam, saya telah sampai di Berghain, bersama
puluhan orang yang mengantri di depan pintu klub tersebut. Isu tentang begitu
sulitnya memasuki tempat itu segera saya dengar dan buktikan. Penjaga pintunya
yang terkenal subyektif memilih siapa pun yang masuk kedalam nya, terbukti
berhasil mengusir beberapa orang yang akan masuk kedalam ruangan itu.
Pemeriksaan super ketat terjadi di depan. Jangan pernah punya pikiran mengambil
foto, merekam video atau pun mengabadikan apa pun yang terjadi di dalam klub
atau di luar klub, jika ingin menikmati bogem hangat dari para penjaga di
Berghain. Gelang CTM di tangan dan Co-card menjadi pemulus memasuki Berghain.
Memasuki bangunan yang dulunya
adalah instalasi pemanas kota/ pembangkit listrik, saya sudah di giring dalam
atmosfer yang asing dari klub klub yang pernah saya masuki. Sayup sayup
terdengar musik dengan hentakan drum yang raw, dan begitu menaiki tangga, saya
lihat di lantai selanjutnya ratusan orang usah memadati tempat itu. Beberapa
musisi bergantian mempersembahkan musik mereka. Ah lelah dan jetlag saya kembali
menguasai tubuh saya, sajian musik sangat intens, dan biasanya bisa saya
nikmati berlahan lahan menjadi sangat membosankan. Puncaknya, ketika seorang
musisi yang menyajikan komposisi White Noise selama 45 menit !!!. Kelelahan
itu akhirnya menggagalkan saya menikmati saah satu performance yang paling saya
saksikan sebelum meninggalkan tanah air, PHARMAKON !!!! Tapi ya sudahlah,
telinga saya dan tubuh saya lebih ketenangan dan lembutnya kasur hotel.
Hari selanjutnya, jadwal kami
adalah menemui Direktur Artistik Transmediale Oliver Baurhenn. Salah satu orang
yang paling bertanggungjawab dengan pelaksaan Transmediale dari awal hingga 30
tahun kemudian. Dari dialog ini bagaimana Oliver memaparkan tentang kesejarahan
dari Transmediale, yang sebelumnya dalah rangkaian event dari Berlinale, yang
akhirnya di tahun 1987 menjadi event terpisah dari Berlinale. Paparan lain dari
Oliver, yang cukup menarik bagi saya adalah tema dari Transmediale 2017 yaitu
FEAR, ANGER, LOVE, tema yang tidak khas bagi pelaksanaan Transmediale di tahun
sebelum sebelumnya. Tema yang buat saya seperti membanting Eropa kepada
permasalah permasalah dasar, yang sering di luputkan. Kompleksitas teknologi
lebih terlihat daripada komplesitas manusia nya. Lalu kembali melihat manusia
secara holistik sebagai sistem dasar, dan teknologi hanyalah media atau alat
pelengkap sistem.
Terlihat jelas disini mengapa
Mexico menjadi salah satu subjek dan Berghain di malam sebelum nya yang saya
datangi menjadi sangat menyiksa saya. Mungkin dunia ke tiga yang diwakili
Mexico, lebih mampu memunculkan sisi human, karena pekerjaan rumah mereka
membangun suprastruktur belum usai, dan secara bersama sama infrastrutur selalu
terganggu karena suprastruktur yang belum siap. Berghain malam sebelunya pun lebih
menyajikan sajian yang lebih mengedepankan “adukan” emosi penontonya, bukan
“adukan” untuk menggoyangkan badan. Di titik ini saya telak terkena.
Saya pun juga hadir di salah satu
Talk Session yang menghadirkan Genesis Breyer P-Orridge, frontman dari
Throbbing Gistle, salah satu pioner Musik Industrial. Dalam diskusi ini, dia berbicara
tentang konsepnya yaitu Pandrogyne atau
entitas tunggal. Sebuah konsep penyatuan dirinya dengan pasanganya yaitu
Jaqulline Breyer atau Lady Jaye yang
meninggal di tahun 1997. Penyatuan entitas tersebut dilakukanya dengan
memodifikasi tubuh sehingga mirip mendiang istrinya, setelah mengalami "perjumpaan" dengan mendiang istrinya yang telah meninggal beberapa waktu sebelumnya. Konsep
penyatuan entitas ini terasa tidak asing bagi saya, kalo di budaya Jawa, penghadiran
entitas ini biasa di lakukan selama seminggu, 40 hari setahun hingga 1000
hari. Prosesi
yang masih dijalani oleh sebagian masyarakat di Indonesia, proses
sinkretisme yang masih hidup subur hingga sekarang, terutama di desa
desa.Pemberhentian selanjutnya adalah
pembukaan Transmediale 2017 EVER ELUSIVE di HKW, malam itu HKW disesaki oleh
orang orang yang ingin melihat pembukaan barometer New Media paling bergengsi
di Dunia. Salah satu performance pembukaTRansmediale 2017 datang dari sebuah
kelompok benama Black Quantum Futurism Collective (Rasheedah Philiph dan Moor
Mother). Performance dari grup yang
menggabungkan elektronik music dan orasi deskriptif ini mengangkat tema tentang
masa depan, ilmu pengetahuan , seni, media, Afrofuturistic, Sci-Fi dan kelompok kelompok margin. Tapi hal menarik
dari grup ini adalah kenapa Black Quantum Futurism ? Sebuah studi yang sangat
tidak eropa dan jauh dari pola skeptis eropa. Seketika saya bertanya dalam
hati, kalo di sana ada studi tentang Black Quantum Futurism, seharusnya di kita
ada juga dong Brown Quatum Futurism :p
Tak usai menikmati pembukaan di
hall utama, di putuskan untuk menikmati pembukaan pameran di HKW, pameran
instalasi yang di beri judul “Alien Matter” yang di kuratori oleh Inke Arns.
Pameran ini berbicara tentang lingkugan yang di bentuk oleh tekhnologi, dan
sebagai hasilnya muncul pola hubungan baru antara teknologi dan manusia. Dalam
sesi pertemuan dengan sang kurator, kembali di bicarakan tentang teknologi yang
sublim keberadaannya dalam relasinya dengan manusia. Kesadaran kita akan
teknologi telah mengubah cara pandang kita terhadap teknologi. Teknologi
menjadi lebih “alami”, dan di lingkugan saat ini teknologi sebagai sesuatu yang
cerdas telah mencapai titik puncaknya menjadi sesuatu yang kembali menjadi
materi asing.
Pameran ini secara tidak langsung
memberi gambaran kepada saya bagaimana “kita” melihat teknologi. Melihat
teknologi sebenernya adalah melihat kembali kepada manusia. Jika manusia dan
teknologi adalah bagian dari sistem, maka manusia adalah otak dari sistem, akan
tetapi fungsi manusia secara perlahan di reduksi oleh teknologi. Sebelum
teknologi menjadi sesuatu yang tak tampak dan menguasai manusia, saat nya
mengembalikan dasar teknologi kepada manusia.Hampir di kesemua hal yang di
gelar dalam Transmediale 2017 ini mencoba untuk membahas kompleksitas hubungan
teknologi dan manusia. Bagaimana teknologi yang semakin menemui titik
sublimnya, bagaimana teknologi menjadi agen perubahan cara bersikap manusia,
hingga bagaimana teknologi muncul kembali, dan menjadi “benda asing” bagi
manusia.
Rangkaian selama seminggu yang
saya ikuti dalam gelaran Transmedia 30, memberi persepsi segar &
membuka ruang pandang saya menjadi lebih luas, yang sebelumnya hanya saya
dapatkan dari cerita dan artikel internet selama ini. Inilah kompleksitas yang akhirnya boleh DI pilih. Entah
karena merasa sebagai bagian dari warga dunia global, atau warga dunia di
salah satu kutub ( timur dan barat), atau bunglon sesuai lokasi ? Jawabannya ya ada di anda sebagai manusia.




